Selasa, 10 Januari 2012

Sampai Kapankah Harus Begini, Mengapa Oh Mengapa?

Oleh Sanco Simanullang

Sampai kapankah kau harus begini
Mungkinkah kau ingin terus begini
Mengapa oh mengapa
Aku tak percaya
Aku tak percaya
..

Penggalan lyric lagu popular yang hit dibawakan Broery Pesolima ini, kiranya tepat dialamatkan pada rusak parahnya Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Sibolga-Tarutung. Sampai kapankah kerusakan itu terus tak diurus? Mungkinkah jalan tersebut akan terus begitu? Mengapa? Apakah tidak ada dana? Apakah tidak ada usulan untuk dianggarkan di tingkat Kabupaten, provinsi atau pusat? Ataukah eks wilayah Keresidenan Tapanuli ini akan terus di pinggirkan ? Mengapa, mengapa? Oh Aku tak percaya, bahkan pembaca pun saya kira tak percaya akan semua ketidakpedulian ini,akan semua janji palsu, akan semua iming iming, akan semua ini akan semua itu, akan semua ketidakpastian perhatian pemerintah khususnya jalan di wilayah jalinsum Sibolga Tarutung. Kita seakan tak percaya…

Kian Parah

Parahnya kondisi Jalinsum Tarutung Sibolga kian menyengsarakan warga yang melintas. Akhir tahun 2011 kemarin menjelang Natal dan Tahun Baru 2012 terasa amat padat. Penulis sempat tertahan pada tengah malam di jalan tersebut selama 5 jam lebih, ditengah kegelapan dan guyuran hujan deras saat hendak bertolak ke Medan dari Sibolga. Ratusan kendaraan terjebak dalam antrean panjang dalam melintasi badan jalan yang dipenuhi lumpur.Kondisi ini memaksa penumpang bus maupun pengemudi menahan lapar ditengah malam di kawasan berlumpur itu. Jalur “neraka” ini dikelilingi hutan lebat dengan penerangan yang minim.

Seorang sopir truk mengungkapkan kekesalannya sambil ngedumel berbahasa Batak atas tidak ada solusi atas parahnya Jalinsum yang telah berlangsung bertahun-tahun. “Tu dia do hepeng pajaki dibaen pamarenta on ? amang oi amang…,” katanya dengan nada keras. Kemacetan berjam jam membuat dia khawatir ikan yang akan diantarkan ke Medan tidak bisa terjual lagi lantaran busuk.

Kondisi jalinsum Tarutung Sibolga sudah pada taraf menyengsarakan masyarakat yang melintas. Penerangan sangat minim dan harus menahan lapar karena tidak ada warung. Padahal bila terjadi kemacetan, bisa terjebak hingga puluhan jam.

Disisi lain, bukan tidak mungkin korban jiwa akan bertambah sia sia karena kondisi jalan rusak ini sangat mengkhawatirkan, lebar badan jalan juga sudah tidak sesuai lagi dengan volume kendaraan, ditambah keberadaan jurang yang siap mengancam keselamatan pengendara.

Sejumlah sopir dan pengendara yang setiap hari melewati jalan ini kerap gamang dan risau, utamanya para sopir yang tidak hafal tikungan, lebih lebih mereka yang baru pertama sekali melewati jalan tersebut.

Hari besar keagamaan memang sudah berlalu, tetapi seiring berlalunya tahun demi tahun, tampaknya perhatian pemangku kepentingan juga turut berlalu, tidak peduli kerusakan jalan tersebut. Sejatinya, pemerintah harus turun melakukan perbaikan atau pemeliharaan badan jalan sebagai bentuk perhatian kepada masyarakat.


Rasanya tidak usah terlalu muluk muluk untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh, sebab sudah pasti biayanya akan sangat mahal. Semisal setitik air dipadang gurun dinilai cukup. Alangkah arifnya jika dilakukan bertahap, setidaknya untuk memperbaiki kawasan-kawasan terparah saja, supaya nantinya tidak menimbulkan masalah yang dapat mengganggu arus lalu lintas.

Sejumlah warga Sitahuis mengatakan, kasus kecelakaan lalu lintas seperti mobil masuk jurang dan lainnya kerap terjadi di Kecamatan Sitahuis. Pemerintah melalui instansi terkait terutama Dewan Perwakilan Rakyat sejatinya membuka mata hatinya, memberikan perhatian yang lebih serius terhadap permasalahan ini.



Beban Teramat Tinggi?


Secara teori, jalan rusak disebabkan oleh karena tingginya beban yang menimpanya. Kerusakan jalan memang berbeda dengan kerusakan bangunan sipil semisal jembatan. Pada jembatan, misalnya, jika dibebankan dengan beban yang lebih besar dari batas maksimum, maka jembatan akan langsung ambruk. Pada jalan dinilai berbeda, kerusakan disebabkan pengulangan beban. Beban yang dating terus menerus secara berulang menimpa. Ini berarti beban kendaraan berat, sekali lewat mungkin tidak akan menyebabkan kerusakan jalan. Tetapi jika terus menerus jalan akan mengalami kerusakan. Artinya kerusakan jalan adalah disebabkan oleh 'kelelahan' akibat beban berulang tadi.


Hampir semua Jalinsum Tarutung Sibolga menggunakan campuran agregat (batu pecah) dan aspal. Padahal musuh utama aspal adalah air, karena air bisa melonggarkan ikatan antara agregat dengan aspal. Kerusakan yang umum terjadi di jalinsum tadi adalah adanya air yang menggenangi permukaan jalan. Padahal kita juga sudah tahu bahwa sepanjang jalinsum tersebut sangat rawan dengan longsor dan air pegunungan. Manakala ikatan aspal dan agregat longgar karena air, kendaraan yang lewat akan memberi beban yang akan merusak ikatan tersebut dan permukaan jalan pada akhirnya. Tipikal kerusakan karena pengaruh air adalah lubang. Sekali lubang terbentuk maka air akan tertampung di dalamnya sehingga dalam hitungan minggu lubang yang semua kecil dapat membesar dengan cepat. Itulah sebabnya kerusakan jalan sering dikatakan bersifat eksponensial.

Ketika ikatannya longgar pun, sebenarnya tidak masalah kalau tidak ada beban. Namun, ketika ikatannya longgar lalu ada kendaraan lewat, inilah yang mengawali kerusakan. Awalnya muncul lubang kecil. Air kemudian masuk lagi ke lubang tersebut. Akhirnya, lobang yang kecil tadi semakin membesar. Hubungan kerusakan jalan terhadap waktu terjadi secara eksponensial.

Maka tidak heran jika lubang jalinsum Tarutung – Sibolga semakin parah akibat beban berulang truk truk besar. Memang kita tidak dapat menyalahkan semata mata para pengemudi truk tadi, atau pengusahanya, sebab mereka juga bayar pajak.


Sebenarnya, ketika jalan didesain, ia harus kuat terhadap beban lalu lintas. Umur rencana lima tahun umumnya diterapkan untuk jalan baru. Jalan yang rusak karena beban biasanya bercirikan retak dan kadang disertai dengan amblas. Bisa saja usia jalinsum Tarutung – Sibolga sudah melebihi masa tersebut. Maka tugas pemerintah sebenarnya untuk mengadakan perbaikan yang baru sesuai masanya.

Beberapa waktu lalu, sejumlah sopir truk asal Sibolga pernah mengancam akan berunjukrasa mendesak pemerintah segera memperbaiki jalan lintas Sumatera (jalinsum) Sibolga-Tarutung Tapanuli Utara (Taput). Kesabaran para sopir itu sudah sampai ubun ubun, sebab kerusakan jalan menyebabkan kerugian yang mereka derita tak terkendali lagi.

Akibat kerusakan jalan itu membuat mereka harus menderita kerugian, tidak hanya rugi material tetapi juga waktu. Tak hanya itu, mereka tidak memiliki jaminan keamanan di sepanjang jalan rusak itu.

Haruskan warga untuk menyampaikan aspirasinya dengan berbagai cara yang lebih keras agar pemerintah bergeming ?. Tampaknya keluhaan atas rusaknya fasilitas jalan dan penanganan infrastruktur jalan tidak mendapat tanggapan yang berarti.

Menjadi sebuah perenungan bersama, apakah banyaknya jalan yang rusak akibat pemerintah kurang fokus menggarap infrastruktur ini? Lantas seperti apa perawatan terhadap jalan yang dibangun ?. Selain itu, banyaknya jalan yang rusak diakibatkan oleh kualitas penggarapan proyek yang buruk dan terindikasi Kolusi dan Korupsi. Untuk menekan hal ini, semestinya pemerintah lebih serius mengkaji dan mengawasi yang jelas terhadap pengelolaan infrastruktur jalan.

Kita semua tahu bahwa kerusakan jalan juga diakibatkan tak berfungsinya gorong-gorong sehingga air meluber ke jalan. Selain itu jalan rusak disebabkan banyak faktor, sehingga kesalahan memang tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah semata. Masyarakat juga terkadang kurang peduli dalam menjaga infrastruktur jalan. Sudah jelas, banyaknya ruas jalan rusak sebagai salah satu penghambat gairah perekonomian rakyat di Wilayah Sibolga dan Tapanuli Tengah.

Inftrastruktur jalan yang rusak memang memiliki korelasi langsung terhadap perekonomian. Selain menimbulkan biaya mahal dalam proses distribusi, jalan yang rusak juga bisa merugikan pedagang. Hal ini diakibatkan biaya operasinal dan risiko kerusakan armada makin tinggi. Selain itu, waktu tempuh juga akan terganggu.

Walaupun pertumbuhan ekonomi bersinggungan dengan banyak faktor, baik itu kualitas produk, permintaan konsumen termasuk musim, namun faktor angkutan dan prasarana jalan pasti memiliki pengaruh yang kuat terhadap perekonomian wilayah.

Pemerintah diminta untuk mengalokasikan anggaran khusus untuk memperbaiki jalan yang rusak, pemerintah harus cepat memperbaiki ruas jalan yang mulai rusak. Selain itu agar dibentuk tim yang mengawasi Jalinsum tersebut supaya kerusakannya cepat diperbaiki dan dilakukan perbaikan bertahap.

Banyaknya truk barang dengan beban yang sangat berat kiranya dapat dibatasi. Bisa saja barang dialihkan melalui jalur laut Sibolga untuk membatasi kendaraan luar yang masuk ke Sibolga.

Eks Keresidenan Tapanuli Sengaja Dimiskinkan?

Kualitas Jalinsum Tarutung –Sibolga sudah kian parah. Keluhan masyarakat sepertinya tidak digubris. Terhadap kerusakan fasilitas jalan tersebut sudah sering kali dilontarkan masyarakat sekiar.

Direktur Bina Program Direktorat Jenderal Binamarga Sumut beberapa waktu lalu mengatakan tidak memungkiri masih terjadinya kerusakan jalan termasuk di jalur Tapteng-Sibolga. Bahkan,katanya, sekitar 50 % kondisi jalan provinsi dan kabupaten/kota masuk ketegori rusak.

Untuk memperbaiki ruas jalan sepanjang 338.000 Km itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Apalagi, anggaran untuk perbaikan jalan rusak tersebut belum mencukupi.

Dari peryataan tersebut tampak jelas, anggaran tidak tersedia secara memadai ke pantai barat tersebut. Tentu ini berhubungan dengan pengganggaran di DPRD. Dari situ dapat dikaji, masyarakat perlu terus mengingatkan DPRD dan pemerintah agar segera melakukan kajian dan menyiapkan anggaran untuk perbaikan jalan rusak. Sebab masalahnya kemudian adalah, akibat rusaknya infrastruktur jalan, laju roda perekonomian akan terganggu. Dan perekonomian yang terganggu sudah pasti menghadirkan kemiskinan.

Barangkali masih segar dalam ingatan kita perjuangan pembentukan provinsi baru diwilayah ini. Menjadi semakin masuk akal, bila kawasan ini menuntut kemandirian dalam bentuk provinsi. Apakah kerusakan jalan ini turut mengakibatkan wilayah eks Keresidenan Tapanuli ini, bertambah miskin? Atau memang sengaja diciptakan untuk miskin, salah satu dengan tidak dipedulikannya jalan di wilayah ini? Ini menjadi pertanyaan yang maha besar yang perlu segera dituntaskan.(*)

Penulis adalah kolumnis, aktif di el-STARA(*)

e-mail: sancosimanullang@gmail.com