Kamis, 13 September 2007

Sejauhmana Efektivitas Penyaluran Subsidi Dana Kemiskinan?

* Sebuah Catatan Menyikapi Peluncuran Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Kepada Keluarga Miskin


Oleh: Sanco Simanullang, ST, MT dan Jhonson BS Rajagukguk, S. Sos

Bersama kita bisa menerima kelangkaan BBM, yang akhirnya bermuara pada variabel naiknya BBM pada awal Oktober 2005 ini. Sebuah rencana pemerintah SBY -JK yang penuh kontroversi. Patut diduga, naiknya BBM ini akan mengakibatkan malapetaka ekonomi nasional karena struktur ekonomi kita belum bisa mengikuti logika pasar internasional. Memang pasca neoliberalisme, pasar telah dijadikan sebagai “Tuhan Global” yang justru melahirkan kesenjangan. Asumsi pemerintah menaikkan BBM ini memang berdasarkan arus pasar internasional, tetapi disatu sisi gagal melahirkan aspek keadilan ekonomi. Subsidi Rp 100.000 diasumsikan bisa menolong masyarakat miskin dalam menghadapi logika pasar. Benarkan demikian? Kalau tidak bagaimana nasib demokrasi ekonomi di negara ini atas nama ekonomi kerakyatan yang justru tak kuasa menghadapi benturan pasar global?


PKPS-BBM
Diakhir bulan September ini pemerintah diprediksi bakal meluncurkan kebijakan yang tidak populer yakni menaikkan harga BBM dan akan digulirkan jam 24.00 WIB tepatnya 1 Oktober 2005 dengan kenaikan berkisar antara 70-80%. Sebelum kenaikan itu diumumkan tampaknya pemerintah bakal meluncurkan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) kepada keluarga miskin: sebab, Badan Pusat Statistik telah selesai mendata jumlah penduduk di tanah air sebanyak 218 juta orang. Dari jumlah itu terdapat 15,5 juta rumah tangga atau 62 juta jiwa penduduk miskin. Dengan rincian 4 juta rumah tangga kategori sangat miskin, 6 juta rumah tangga kategori miskin dan 5,5 juta rumah tangga mendekati miskin. Pendataan keluarga miskin ini BPS telah menghabiskan dana Rp 250 miliar dengan mengerahkan 205.082 petugas non organik yang disebar di 30 provinsi di Indonesia dan 440 BPS kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Dasar BPS memutuskan seseorang miskin memiliki tiga kategori. Pertama, penduduk sangat miskin yaitu penduduk yang kemampuan minimal memenuhi konsumsi kalori sama atau kurang dari 1.900 kalori per orang per hari ditambah pengeluaran non makanan senilai Rp. 120 ribu per orang per bulan. Artinya kalau seseorang memiliki pendapatan perbulan hanya Rp 120 ribu dikategorikan penduduk sangat miskin. Kedua, penduduk miskin yakni yang memiliki kemampuan memenuhi konsumsi kalori antara 1.900-2.100 kalori per orang per hari ditambah dengan pengeluaran makanan setara Rp 150 ribu per orang per bulan. Ketiga, penduduk mendekati miskin yakni memiliki konsumsi 2.100-2.300 kalori ditambah pengeluaran non makanan setara Rp 175 ribu per orang per bulan.
Bedasarkan kriteria di atas maka Badan Pusat Statistik memutuskan bahwa yang tergolong sangat miskin kategorinya 4 kali Rp 120 ribu atau setara Rp 480 ribu per rumah tangga per bulan, rumah tangga miskin apabila pendapatannya Rp 600.000 per bulan, dan mendekati miskin jika pendapatannya Rp 700.000 per rumah tangga per bulan. Dengan kategori dari sudut pendapatan itu akhirnya pemerintah menemukan 62 juta jiwa atau 15,5 juta rumah tangga. Untuk menopang napas kehidupan 15,5 juta rumah tangga itu pemerintah memberikan bantuan satu rumah tangga miskin di tanah air akan memperoleh bantuan sebesar Rp 100.000 per bulan yang pengeluarannya per tiga bulan atau Rp 300.000 sehingga pemerintah per tiga bulan harus mengucurkan dana keniskinan 4,65 triliun. Mekanisme penyaluran bantuan itu dilakukan Departemen Sosial bekerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia dan PT Pos Indonesia. Dan diprediksi bantuan itu akan mulai dikucurkan bulan depan yaitu Oktober, Nopember dan Desember. Kemudian Januari 2006 keluarga miskin akan mendapat kembali Rp. 300 ribu.
Mencermati kriteria di atas muncul pro dan kontra tentang kriteria kemiskinan, bahkan diduga ada mark up data penduduk miskin, seperti yang diinformasikan harian Sinar Indonesia Baru (SIB 18/9/2005) bahwa ketua DPRD Pakpak Bharat dan Sekda masuk data miskin. Terlepas dari sajian data statistik itu, mengapa kebijakan PKPS-BBM itu diluncurkan pemerintah? Suatu jika mencermati visi Indonesia 2002 yaitu “mewujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokrasi, adil, sejahtera, maju mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara”. Cita-cita ini merupakan target yang harus dicapai tahun 2020. Berangkat dari impian ini, sesungguhnya masalah kemiskinan sudah menjadi masalah lama, sama tuanya dengan umat manusia sendiri. Ketika perbedaan-perbedaan kelas manusia timbul akibat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang tidak meraja bagi setiap umat manusia. Pada saat itu timbullah orang-orang yang berkecukupan pada satu pihak dan orang-orang yang berkekurangan pada pihak lain artinya yang miskin tetap miskin.
Berbagai program telah banyak dilakukan pemerintah sejak awal memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT II). Sebut saja lewat program penanggulangan Inpres Desa Tertinggal (IDT) hasil karya “Tim Sembilan” pakar UGM yang diketuai Mubyarto (almarhum) dengan anggota Herqutanto Sasronegoro (almarhum), Ichlasul Amal, Loekman Soetrisno (almarhum), Kuntowijoyo (almarhum), Amien Rais, Nasikun, Yahya Muhaimin dab Bambang Sudibyo. Karya “Tim Sembilan” kemudian digulirkan lewat kebijakan publik dalam intruksi Presiden Indonesia Nomor tahun 1993 tentang Desa Tertinggal. Digulirkannya kebijakan publik itu, jumlah penduduk miskin saat itu telah mencapai 27,2 juta jiwa sesuai dengan data Biro Pusat Statistik (BPS 1992). Namun karya “Tim Sembilan” untuk penanggulangan Inpres Desa Tertinggal (IDT), dekade itu tampaknya justru mengalami jalan buntu, sebab jumlah penduduk miskin justru mengalami peningkatan signifikan, yang saat ini telah mencapai 62 juta jiwa. Kemudian diluncurkannya jaringan pengaman sosial (JPS). Lalu, apa yang menyebabkan kegagalan pembangunan berkelanjutan kemanusiaan itu gagal sehingga menjadi masalah nasional?. Menurut Srinivas (1991) ialah “Development of poverty cand and do coexist. In the case of individuals, development and poverty do not have to coexist, but nations are not individuals. The popular nation is that development and affluance are synonymous while poverty and underdevelopment are concominant proceses. The nationis that when nations development they can get rid poverty. This is not true. On the other hand, it is the nature of the development process (as it is being carried out and conceptualized today to cause greater poverty. Second it is methods of development process that causes poverty”. Selanjutnya, Prahalad (2004) menunjukkan bahwa potensi ekonomi kelompok miskin sangat kontras dan tak bisa diremehkan, dalam jumlah saja, empat miliar orang miskin di dunia. Lebih tajam lagi laporan Bank Dunia lebih dari 110 juta penduduk Indonesia tergolong miskin atau setara dengan 53,4% dari total penduduk Indonesia. Mengapa angka kemiskinan itu terus bertengger di papan atas? Sebab, kemiskinan itu menurut The World Bank Group (2000) “poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to see a doctor. Poverty is not being able go to school and not knowing how read. Poverty is not having a job, is fear to future, living one day at a time, Poverty is losing a child to illness brought about unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom”. Tak dapat dipungkirkan kemiskinan itu merupakan lingkaran setan dan sangat komplesitas serta hubungan sebab akibat dan yang saling berkaitan dari ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weakness) seperti busung lapar, kemiskinan (poverty) dan keterasingan (isolation).

PKPS-BBM PEMBANGUNAN ALTERNATIF ?
Salah satu cara pembangunan alternatif mengatasi kemiskinan yang saat ini menurut pemerintah, yakni melakukan gerakan PKPS-BBM merupakan istilah baru dalam hal mengentaskan kemiskinan, dengan maksud agar masyarakat lebih berdaya menopang napas kehidupannya. “kekuatan atau daya fisik” yang menjadi modal dasar dari proses aktualisasi eksistensi itu. Secara struktural manusia sebagai makhluk sosial memang perlu dimungkinkan untuk pengaktualisasikan eksistensinyadengan cara pemberian subsidi dalam bentuk uang kontan. Mereka disantuni setiap bulan sebesar Rp 100 ribu oleh pemerintah. Namun yang perlu ditelusuri PKPS-BBM apakah masyarakat miskin akan memampukan mereka untuk lebih berdaya dan berapa lama daya tahan pemerintah untuk memberi santunan ini”. Akankah sampai berakhirnya masa kepemimpinan Presiden?. Kemudian berturut-turut menunggu pemilu berikutnya sehingga ini merupakan bahan yang tak pernah selesai dan isu penting para jurkam dimasa depan ketika kampanye?. Pemberian santunan kadang-kadang hanya menyentuh “cabang” atau “daun” namun tidak “mengakar” permasalahan “grassroot” atau hanya mengkumandangkan subsidi tetapi belum mampu membumi hingga sampai ke akar rumput (penduduk miskin itu sendiri). Idealnya, masyarakat miskin itu harus mengubah nasibnya sendiri dan tidak tergantung melulu kepada santunan. Untuk memberdayakan, hendaknya kita berikan alat pancing, bukan ikan hasil pancingan. Karena itu, pemberdayaan menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi umat manusia agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menjadikan apa yang menjadi pilihan hidupnya serta memperkukuh kekuatan ekonomi rumahtangganya sebagai modal dasar atau faktor generatif dari proses pemberdayaan tersebut. Robinson (1994) memperjelas konsep pemberdayaan “empowerment ia a personal and social process, a liberating sence of one’s own strengths, competence, creativity and freedom of action, to be empowered is to feel power surging into one from other people and from inside, specifically the power to act and grow, to become, in Paolo Freire’s terms, “more fully human”. Filosofi pemberdayaan itu harus menjadi bagian dari aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, manusia dan kemanusiaanlah yang menjadi tolok ukur normatif. Bukan dana santunan itu yang perlu ditonjolkan dan digembor-gemborkan melainkan adanya kemauan untuk mengubah nasib hidupnya sehingga menempatkan konsep pemberdayaan sebagai bagian dari upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintahan, negara dan tata dunia didalam rangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab, yang terwujud di berbagai medan kehidupannya sebelum ia menghadap penciptanya.


GERAKAN PEMBERDAYAAN TERKOORDINIR
Gerakan pemberdayaan dapat menjadi suatu pendekatan alternatif terhadap pembangunan kemanusiaan hendaknya berfokus tidak hanya pada dana santunan, tetapi juga memampukan si miskin untuk berkreasi dalam suatu wadah yang terkoordinir. Sedangkan tujuan pembangunan alternatif itu adalah untuk memanusiakan suatu sistem yang membungkamkan mereka dari keterbelakangan dan untuk mencapai ini diperlukan bentuk-bentuk perlawanan yang menekankan kepada hak-hak mereka sebagai umat manusia dan warga negara yang tersingkir dan terpinggirkan. Gerakan pemberdayaan juga merupakan suatu proses perubahan pribadi karena masing-masing individu mengambil tindakan atas nama mereka sendiri dan kemudian mempertegas kembali pemahamannya terhadap dunia tempat ia tinggal apakah di daerah perkotaan, pinggiran perkotaan, atau di daerah teringgal pedesaan dari segala akses informasi maupun ekonomi. Mereka ini perlu diberdayakan dalam sebuah gerakan populis yang benar-benar dapat mendarat hingga ke akar rumput dengan cara berkelanjuta. Seperti mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan Undang-Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 213 ayat (1) dimana desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa, dalam hal ini pemerintah harus memberikan dana pancingan (trigger), bukan santunan bulanan. Mendirikan BUMD tidak saja merupakan tekad untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi juga sebagai bagian dari pemerintahan yang baik (good governance) untuk wujudkan pembangunan alternatif yang melihat pentingnya manusia (masyarakat) tidak lagi sebagai objek tetapi subjek pembangunan. Gerakan partisipasi juga tidak kalah penting digerakkan. Dalm gerakan pemberdayaan dan gerakan partisipatif melibatkan warga masyarakat, khususnya kelompok sasaran dalam pengambilan keputusan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, penendalian (evaluasi) hingga pemanfaatan hasil-hasilnya. Gerakan pemberdayaan dan partisipasi di atas selama ini belum populis terlihat seperti “dipasrahkan” sepenuhnya sepertipemanfaatan dana IDT, jaringan pengaman sosial (JPS) kepada penduduk miskin namun mengalami jalan buntu. Sebab, kondisi tersebut menggagalkan pembentukan karakter kelompok masyarakat miskin yang selalu tergantung.
Pada dasarnya, setiap individu dilahirkan dengan daya. Namun, kadar daya itu akan berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor yang saling terkait (interlinking faktor) antara lain seperti, gizi, pengetahuan, status, usia, harta, kedudukan dan jenis kelamin. Faktor-faktor yang saling terkait tersebut pada akhirnya membuat hubungan antar individu dengan kotomi subjek (penguasa) dan objek (yang dikuasai) yang meliputi kaya-miskin, laki-laki-perempuan, guru-murid, dosen-mahasiswa, pemerintah-warganya, dokter-pasien dan lain sebagainya. Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan kotomi subjek dan objek tersebut yang ingin “diperbaiki” melalui gerakan pemberdayaan sehingga memiliki daya. Pada akhirnya, kemampuan masyarakat miskin untuk dapat “mewujudkan” harapannya dengan diberinya “pengakuan” oleh subjek merupakan bukti bahwa individu tersebut mempunyai daya. Kini yang selalu muncul dalam benak kita adalah apakah subsidi kurang lebih Rp 100.000 diasumsikan bisa menolong masyarakat miskin dan cukup efektif dalam menghadapi logika pasar. Sungguh, kita berada dalam posisi penantian panjang melihat bukti nyata.

Penulis pertama: Dosen di beberapa PTS/Praktisi Telematika
Dan penulis kedua Dosen Pengajar pada STIE dan STMIK IBBI Medan

Selasa, 11 September 2007

Pilgubsu 2008, Kita Jangan sampai salah pilih

Bagian 1

Duel pertarungan pemilihan penguasa nomor wahid yakni “Plat BK 1 dan 2 “ bakal segera berlangsung di Sumut. Suhu dan temperature suksesi semakin hari terasa panas dan menmbuat leher baju berkeringat. Bau suksesi ini semakin lama semakin menyengat hidung perpolitikan Sumut. Sebagaimana direncanakan, Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatra Utara dipastikan akan berlangsung pada pertengahan 2008 yang akan datang. Hal ini semakin menambah kehangatan politik dimana para kontestan dan audisi bak Indonesia Idol saja, bertambah dan bertambah dari waktu ke waktu.


Harus diakui, pesta demokrasi tingkat Sumut kali memang akan menjadi catatan tersendir dan penting untuk di goreskan dalam catatan penting Sumut. Ini dapat dimaklumi karena baru pertama kalinya pemilihan Gubsu, langsung oleh rakyatnya sendiri. Seiring degnan maraknya kehadiran wajah baru dalam kontestan audisi akabar ini, Timbul beberapa pertanyaan : Figur mana yang akan memenangkan Pilkada kali ini? Sejauhmana demokrasi akan berjalan pada rel nya? Sejauh mana pilgubsu yang merupakan refleksi demokrasi diimplementasikan secara benar dan tepat sasaran?. Berangkat dari pemahaman demikian, tulisan berikut melakukan penelusuran awal bagi penyelenggaraan pilgubsu yang merupakan sarana sirkulasi elit dan transfer kekuasaan di tingkat lokal untuk mendapatkan figur yang tepat.

CURI START ?

Berdasarkan perolehan suara legislatif yang lalu, di Sumatera Utara hanya ada dua partai yang boleh mencalonkan tunggal sebagai gubernur Sumatera Utara. Yakni partai Golkar dan PDI Perjuangan. Berdasarkan perolehan suara yang lalu, Partai Golkar memperoleh 19 kursi di DPRD Sumatera Utara dan disusul oleh PDI.P 13 kursi. Berdasarkan ketentuan 15 persen perolehan kursi di DPRD Sumatera Utara harus lebih dari 12 kursi. Ini berarti, hanya dua partai yang berada “ diatas angin ” untuk memajukan calonnya. Selebihnya, “partai gurem “ harus berkoalisi dan bersatu untuk mendapatkan tiket baru untuk mengusung calonnya. Disinilah deal-deal politik akan semakin marak.

Pada posisi demikian, bagi partai yang tidak dapat mencalonkan jagoannya, dan harus ”merger” sudah mulai tarik nafas dan membuat ancang-ancang. Ketika pemilihan gubernur Sumatera Utara masih menghitung hari kedepan, wacana pelaksanaan pesta demokrasi tersebut semakin kencang dan hingar bingar terdengar. Konsolidasi massa pendukung partai politik kian hari semakin riuh. Tak jarang, para balon sudah memulai kegiatan kegiatan penggalangan massa. Dapatkah seluruh kegiatan ini dikategorikan sebagai curi start?. Bila kita saksikan berbagai kerumunan orang banyak, baik kegiatan berazaskan agama, olahraga, seni budaya, tak heran para balon sudah kita temukan disana, diupah-upah, didaulat jadi tokoh, dianugerahi, didoakan, diidolakan. Beberapa partai malah membuat audisi melalui polling SMS. Dari berbagai atraksi yang sudah digelar melalui pemberian marga, penganugerahan tokoh, liga sepak bola atas nama balon, dan lain-lain, yang kalau secara jujur kita tebak, nampaknya semua ini bermuara kepada penggalangan opini yang mengarah kepada pengangkatan balon dimaksud menjadi “tokoh maha super”. Bahkan beberapa waktu lalu, ada ada penganugerahan gelar raja yang hampir saja menjadi konsumsi tak sedap, seseorang balon diangkat dan diklaim menjadi raja atas nama sebuah suku tertentu, oleh oknum tertentu, sungguh memilukan demokrasi kekinian. Kita tidak lagi merasa asing, mana kala ada kegiatan mengatasnamakan nama kelompok-kelompok suku, marga, alumnis, dan kelompok kedekatan lainnya untuk mempromosikan sang kandidat. Konteks pilgubsu 2008 ini memang tidak pernah sepi dari isu dan rivalitas politik dari masing-masing kekuatan politik di pentas lokal.

INDIKATOR KESUKSESAN PILGUBSU 2008

Salah satu perubahan mendasar dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah yaitu proses seleksi kepemimpinan eksekutif lokal tidak lagi dipilih dan ditentukan oleh DPRD, tapi langsung oleh rakyat. Output pilkada diharapkan pemimpin eksekutif lokal yang bisa memenuhi preferensi mayoritas masyarakat lokal dan mempercepat terbentuknya pemerintahan daerah yang lebih baik (good governance). Dengan begitu, dari sisi subtansi, pilkada diharapkan bisa melakukan proses seleksi pemimpin yang dinilai rakyatnya terbaik untuk melakukan perubahan-perubahan yang menjanjikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas.

Demokrasi oleh Abraham Lincoln (1863), dimaknai sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Ironisnya pengalaman menunjukkan, walaupun dewasa ini demokrasi adalah sebuah sistem yang paling banyak digunakan oleh berbagai negara di dunia, tetapi sekaligus pula yang paling sering disalahgunakan. Pilgubsu 2008 boleh dikatakan sebagai pertaruhan serius dalam merajut agenda besar proses demokratisasi di ranah local Sumut. Keberhasilan penyelenggaraan pilkadasung, tergantung pada beberapa aspek (Tim Polokda UGM: 2005).

Pertama, dari segi proses, Pilgubsu 2008 harus terselenggara dengan lancar, jujur dan adil serta nirkekerasan. Ini menegaskan, Pilgubsu 2008 oleh semua stakeholders, elit dan rakyat di daerah hendaknya tidak hanya dijadikan sebagai upaya pencerahan (enlightening) dan perekat berbagai komponen masyarakat, tetapi mampu pula mendorong terjadinya perubahan menuju kehidupan demokrasi substansial dan tata pemerintahan yang efektif.


Esensi terselenggaranya Pilgubsu 2008 dengan lancar, bermakna pada dua hal, yaitu dari aspek parpol itu sendiri. Fungsi seperti seleksi bakal calon yang dilakukan parpol telah dilaksanakan secara terbuka tidak hanya didominasi elit partai, tetapi melibatkan pakar dan perwakilan massa konstituen, yang mana proses dan hasilnya bisa diakses publik secara luas. Selanjutnya dari persfektif kinerja penyelenggaraan, mulai dari proses penganggaran di APBD, penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, masa kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penentuan saksi di lapangan, pengawasan, penetapan pasangan calon kepala daerah/wakilnya, hingga pengesahan dan pelantikan dapat dipastikan tidak menimbulkan polemik/konflik yang berakibat terganggunya kegiatan publik, di mana nilai-nilai kejujuran, profesionalisme semua pihak dan sikap transparansi lebih dikedepankan daripada kepentingan sesaat lainnya.


Kedua, dari segi hasil Pilgubsu 2008 dapat menelorkan produk rekrutmen politik berupa terpilihnya pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut yang mempunyai basis legitimasi yang kokoh baik secara yuridis maupun politis. Secara yuridis, artinya Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut yang terpilih dalam Pilgubsu 2008 adalah yang telah memenuhi semua kualifikasi seperti yang ditentukan dalam UU dan PP. Secara politis, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut terpilih selain berkualitas dan yang tidak kalah penting mereka adalah yang bermoralitas, sehingga mampu memenangkan hati semua pihak di daerah.
Bentuk konkretnya berupa penerimaan/pengakuan secara luas di kalangan masyarakat.

Parameter pengakuan/penerimaan secara luas, antara lain: terlihat dari pemahaman yang baik tentang kondisi daerah yang akan dipimpinnya; mempunyai visi yang jauh ke depan terutama dalam menghadapi pusaran gelombang globalisasi; isu good governance dan tuntutan demokrasi parsipatoris; bisa mensinergikan potensi yang ada (SDA, SDM dan kelembagaan); berempati dan peduli terhadap masalah ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan; punya komitmen kuat terhadap pemberantasan KKN dan sebagainya. Dengan demikian masyarakat yakin, terpilihnya pemimpin baru merupakan starting point terjadinya perbaikan secara signifikan kehidupan mereka, dan pasangan terpilih adalah figur terbaik juga paling berkompeten memimpin daerah di masa lima tahun ke depan.


Ketiga, pasca Pilgubsu 2008. Terpilihnya seorang Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut hendaknya dapat memberikan kontribusi optimal dan signifikan terhadap perbaikan kualitas pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (B Purwoko : 2005). Selain itu, pasangan kepala daerah/wakilnya harus mampu mendesain birokrasi pemda Sumut dari semula sebuah lembaga yang mempunyai anatomi gemuk, tidak lincah dan telmi (telat mikir) mengantisipasi perubahan menjadi birokrasi yang slim and lean (ramping dan tidak berlemak atau hemat struktur dan kaya fungsi), produktif, responsif, cekatan serta dihuni orang-orang yang berkapabilitas dalam penyelenggaraan layanan publik yang dipercayakan kepadanya. (Riswandha Imawan: 2005, Agus Dwiyanto: 2002).Kapabilitas itu antara lain terwujud dalam bentuk kemampuan mereka untuk menggerakkan secara efektif gerbong birokrasi lokal Sumut, sehingga performanya meningkat dan yang tak kalah pentingnya adalah kesediaan dari organisma birokrasi itu sendiri untuk melakukan perubahan.


Lenvine (1990) mengatakan, ada tiga parameter utama dalam menilai kinerja birokrasi publik yaitu: responsiveness, adalah kemampuan lembaga untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan program layanan masyarakat sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsibility, menjelaskan bahwa pelaksanaan organisasi publik telah dilakukan sesuai kebijakan organisasi pemda baik secara implisit atau eksplisit. Terakhir, Accountability, yaitu menunjukkan pada seberapa besar kebijakan yang diambil dan kegiatan publik yang dijalankan mau tunduk dan loyal pada pejabat politik yang dipilih rakyat.

Oleh sebab itu, sudah saatnya ada pembelajaran politik bagi masyarakat agar bisa secara cerdas mendorong terjadinya proses seleksi calon Gubernur / Wakil Gubernur Sumut yang mengedepankan aspek kemampuan dan memiliki keberpihakan untuk memajukan masyarakat dan daerahnya serta orang yang tanggap akan kepentingan hajat hidup orang banyak. Meskipun demikian, mekanisme pemilihan yang didambakan oleh rakyat adalah pilkada yang berlangsung dengan aman, tertib dan demokratis serta bebas dari segala bentuk praktik kecurangan dan penyimpangan demokrasi seperti pembelian dan penggelembungan suara, propaganda politik yang tidak sehat, premanisme politik, intimidasi dan diskriminasi terhadap masyarakat pemilih, kampanye terselubung serta konspirasi antar elit politik yang tidak memihak pada kepentingan rakyat. Pemilihan kepala daerah memang merupakan pekerjaan politik atau politik dalam praktek. Dan sukses tidaknya pelaksanaan pilkada sangat ditentukan oleh adanya kemauan politik yang baik dari masing-masing kandidat serta para pendukungnya dan juga para penyelenggara pilkada untuk mengikuti aturan main yang telah disepakati sebelumnya. Apalagi, substansi pilkada bukan hanya sekadar menjamin kelanggengan dan rotasi kekuasaan, melainkan yang lebih penting adalah bagaimana membangun kedaulatan rakyat dan masa depan bangsa termasuk di dalamnya perbaikan nasib rakyat. Oleh sebab itu pula, adalah sangat rasional apabila rakyat tidak menginginkan pilkada hanya dijadikan sebagai ajang perseteruan yang tidak sehat antar elite partai politik yang implikasinya justru dapat menembus ke bawah ke tingkat akar rumput masyarakat. Sebab bagaimanapun juga, sisi negatif dari kompetisi yang tidak sehat diantara kandidat seperti terjadinya benturan fisik antar massa pendukung setidak tidaknya akan berdampak pada stabilitas sosial.

Disamping itu, rakyat dalam menentukan pilihannya sangatlah variatif sifatnya, misalnya ada yang menilai figur mulai dari visi dan misinya, track recordnya, integritas kualitasnya, kredibilitas dan kualitas kepemimpinannya sampai pada ikatan primordial termasuk di dalamnya ikatan suku, agama dan pengelompokan daerah asal yang sama. Akan tetapi, terlepas dari variabel mana yang ikut berpengaruh terhadap pilihan politik masyarakat lokal, yang pasti melalui pilkada langsung tingkat Sumut diharapkan selain dapat menata kualitas demokrasi secara ideal dan sekaligus membuka ruang politik yang lebih luas untuk meningkatkan partisipasi politik otonom masyarakat secara luas sehingga proses politik ini mampu mereproduksi pejabat publik yang dapat merespons kebutuhan rakyat, juga pada sisi lain diharapkan masyarakat pemilih lebih bersifat kritis, rasional dan objektif dalam memikirkan dan mempertimbangkan kualitas program yang ditawarkan oleh calon kepala daerah dan tidak mudah terpengaruh oleh janji dan slogan politik yang disampaikan oleh para kandidat.


Bagian 2

Masalah pergantian kepala daerah Sumatera Utara berdampak pada semakin beratnya tantangan yang dihadapi oleh Gubernur/Wakil Terpilih, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya maupun keamanan di daerah. Dalam bidang ekonomi misalnya, tugas yang dihadapi oleh kepala daerah tidaklah mudah. Sebab selain dituntut untuk mampu mengelola aset ekonomi dan sumber daya alam yang ada, juga tantangan yang tidak kalah beratnya adalah kemampuan seorang kepala daerah untuk memberdayakan masyarakat terutama bagi mereka yang tergolong miskin sehingga mereka ini memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memenuhi kebutuhannya dan sekaligus membebaskan dirinya dari segala bentuk ketertinggalan, keterbelakangan, isolasi, dan kebodohan. Ini sangat penting dilakukan mengingat kelompok yang tergolong lemah dan tidak beruntung ini cakupannya cukup luas dan tidak hanya terbatas pada keluarga miskin dari perspektif ekonomi, melainkan juga kelompok yang selama ini terpinggirkan dan tidak mendapat ruang dalam kehidupan politik, mereka yang hidup dalam komunitas adat terpencil, para penyandang cacat, kaum manula, serta mereka yang mengalami diskriminasi karena perbedaan etnis, kelas sosial dan jenis kelamin. Rumitnya masalah yang muncul yang bersentuhan dengan masalah sosial dan ekonomi dengan sendirinya akan menimbulkan konsekuensi logis bagi semakin beratnya tantangan yang dihadapi oleh kepala daerah dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat baik yang menyangkut tingkat kesejahteraan, tersedianya sarana pendidikan yang memadai maupun pelayanan kesehatan yang baik.


Sementara itu, dalam kaitannya dengan masalah keamanan dan stabilitas sosial, salah satu tugas yang sangat berat yang dihadapi rakyat Sumatera Utara adalah bagaimana memelihara integrasi sosial sehingga konflik yang bersifat horisontal yang bernuansa SARA dapat dihindari. Tentu masalah ini bukanlah pekerjaan mudah, sebab dalam kenyataannya justru beberapa masalah yang dinilai cukup mengganggu keamanan masyarakat sering muncul kepermukaan akhir-akhir ini seperti : kerusuhan massal, tawuran antar kelompok dan sejumlah aksi teror yang di arahkan pada objek tertentu

Dari serangkaian kasus yang dapat mengusik ketentraman masyarakat diatas telah memberikan gambaran kepada kita semua bahwa sepertinya potensi kerusuhan diantara kelompok-kelompok sosial bagaikan bara dalam sekam yang menyebabkan konflik terus berkepanjangan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan dikatakan bahwa apabila konflik kultural dan sosial ekonomi merupakan sumber nilai disintegrasi sehingga proses integrasi masyarakat kedalam suatu komunitas nasional dapat mandeg sama sekali. Disamping itu, sebetulnya cukup banyak kasus konflik sosial yang berdampak pada stabilitas masyarakat telah memberikan pelajaran kepada kita tentang betapa rapuhnya rasa kesetiakawanan sosial karena masyarakat harus terpecah kedalam kelompok yang saling berhadapan secara fisik. Terlebih lagi, di dalam suatu komunitas yang memiliki keragaman budaya seperti kepercayaan, adat istiadat, suku dan bahasa serta kepentingan sosial, ekonomi dan politik yang mana kesemuanya ini dapat menjadi lahan subur bagi munculnya sikap fanatisme agama dan golongan yang berlebihan, rasa kesetiaan suku yang terlalu sempit serta kompetisi yang tidak sehat. Oleh karena itu, mungkin tidak terlalu bersifat apriori apabila dikatakan bahwa sesungguhnya persoalan demokrasi di tanah air masih sering saja berkutat dengan sejumlah kendala kultural yang pada akhirnya akan bermuara pada terjadinya pertikaian yang berdimensi SARA (Suku, Agama, Ras dan antar Golongan).

PILGUBSU 2008 : JANGAN SALAH PILIH!

Walaupun ada anggapan yang mengatakan bahwa munculnya gagasan untuk melaksanakan Pilgubsu 2008 merupakan sisi lain dari euphoria demokrasi, namun harus pula dimengerti bahwa salah satu tujuan untuk melaksanakan pilkada langsung adalah selain dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal, mengurangi kemungkinan terjadinya praktik politik uang dan pembelian suara, juga melalui pilkada langsung diharapkan dapat di bangun suatu sistem pemerintahan daerah yang kuat, transparan, partisipatif dan responsif dengan melibatkan partisipasi aktif semua komponen masyarakat sehingga tuntutan akan peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup rakyat dapat terealisasi. Untuk mencapai tujuan ini, tentu saja sangat diperlukan seorang kepala daerah yang memiliki karakteristik seperti; Pertama kompetensi yang baik. Dengan didukung oleh pengalaman yang cukup dalam bidang pemerintahan dan kegiatan kemasyarakatan, wawasan yang luas, kapasitas intelektual yang tidak diragukan serta keahlian yang memadai maka seorang kepala daerah dapat memainkan perannya secara optimal dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah. Terlebih lagi, apabila kompetensi yang dimiliki oleh pejabat daerah tersebut juga didukung oleh adanya kepekaan moral spritual dan partisipasi aktif masyarakat. Semua ini dimaksudkan untuk menyukseskan kegiatan pembangunan daerah yang selanjutnya berdampak pada efektifnya penyelenggaraan pembangunan nasional dalam cakupan yang lebih luas. Oleh sebab itu, untuk merekrut seorang pejabat daerah yang memiliki kompetensi yang baik maka tidak ada pilihan lain kecuali proses pengrekrutan ini harus dilakukan secara transparan, rasional, objektif dan demokratis dengan tetap mengedepankan model pengrekrutan yang didasarkan pada kegunaan dan keahlian (merit system) sehingga pejabat daerah yang terpilih memiliki kinerja yang mampu memenuhi dan menyokong kebutuhan rakyat serta dapat membangun tata pemerintahan lokal yang responsif, partisipatif dan terbuka. Kedua profesional dan dapat dipercaya. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang bergerak begitu cepat, tentu akan berdampak pula pada semakin membaiknya dan tingginya tingkat pendidikan masyarakat sehingga hal ini akan membentuk proses empowering masyarakat. Oleh karena itu, adalah wajar apabila para pejabat di daerah harus pula melakukan perubahan paradigma dalam proses pelayanan publik dari perilaku yang sifatnya suka mengatur dengan menggunakan pendekatan kekuasaan kesuatu model pelayanan yang professional, fleksibel, dialogis dan dengan kinerja yang realistik. Lagi pula dalam memasuki era globalisasi, tuntutan akan profesionalisme dan akuntabilitas seorang pejabat di daerah terus menguat sehingga proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, agar supaya pejabat daerah juga mampu mengoptimalkan semua potensi yang ada di daerah, maka tentu saja pejabat publik tersebut harus memiliki sikap proaktif, punya perencanaan yang baik dan diorientasikan ke masa depan, dapat dipercaya, efisien dan tanggap terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Dengan memiliki sikap produktif dan proaktif, maka kepala daerah dapat memanfaatkan dana dan fasilitas yang ada dan disesuaikan dengan skala prioritas sehingga dalam implementasi program kerja dapat dibedakan kegiatan mana yang dianggap sangat penting untuk dilakukan berdasarkan pada rencana yang telah dibuat sebelumnya, termasuk pula di dalamnya munculnya gagasan baru untuk mengelola sumber daya yang ada secara ekonomis namun tetap memberi hasil guna semaksimal mungkin bagi pembangunan daerah. Dan Ketiga, kemampuan integratif. Tidak dapat disangkal lagi bahwa pembangunan sosial dan ekonomi hanya dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh pembangunan politik dan stabilitas sosial yang relatif terkendali. Untuk itu, salah satu tugas yang perlu dilakukan oleh kepala daerah adalah mengelola, mengintegrasikan dan mengakomodasi kepentingan dari berbagai elemen yang ada di daerah sehingga kemajemukan dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan bersama dalam mempertahankan integrasi sosial. Ini sangat penting dilakukan mengingat banyaknya kasus kerusuhan yang muncul belakangan ini sebagai akibat dari tidak terakomodasinya kepentingan sebagian kelompok masyarakat. Akibatnya, ada sekelompok orang yang merasa tidak puas dan kecewa dengan kondisi yang mereka alami sekarang ini dan kemudian rasa frustrasi sosial tersebut terakumulasi sedemikian rupa lalu di manifestasikan dalam bentuk tindakan yang anarkis dan destruktif yang pada akhirnya akan mengganggu kegiatan pembangunan di daerah.

PEMIMPIN BAGI RAKYAT SUMATERA UTARA

Pemilihan Gubernur Sumatera Utara adalah sarana demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat, dalam rangka memilih pemimpin pemerintahan, pemimpin pembangunan dan sekaligus pemimpin bagi seluruh rakyat di daerah pemilihan. Jadi pilgubsu bukan untuk memilih pemimpin parpol atau pemimpin kelompok yang hanya mengedepankan kepentingan komunitas tertentu, tetapi untuk memilih pemimpin pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat untuk kemajuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan yang mampu mengakomodasi kepentingan seluruh rakyat Sumatera Utara. Ketiganya bukan sebagai sarana polarisasi dukung-mendukung untuk mengotak-kotakkan rakyat Sumut, tetapi untuk membangun kecerdasan demokrasi politik rakyat. Oleh karena itu sosialisasi kepada masyarakat perlu dilakukan secara terus- menerus, intensif, komprehensif dan berjenjang sesuai dengan tahapan proses penyelenggaraan, dengan tetap berpedoman pada ketentuan normatif yang berlaku. Penekanan terpenting yang perlu dipahamkan adalah yang terkait dengan hak dan kewajiban masyarakat. Dalam konteks penyelenggaraan pilgub, masyarakat perlu diberikan pemahaman yang berkaitan dengan: pertama, maksud, tujuan, dan sasaran penyelenggaraan pilgubsu. Dua,peran dan kewenangan setiap elemen yang terkait dalam penyelenggaraan pilgubsu, disertai dengan sistem koordinasi dan komunikasi sinergis yang perlu dibangun untuk kelancaran, sukses, dan kondusifitas penyelenggaraannya. Tiga, mekanisme dan tata cara setiap tahapan pilgubsu, mulai dari pendataan dan pendaftaran calon pemilih, sistem pemilihan dan penetapan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur oleh parpol, persyaratan calon (aspek normatif, sosial, dan profesional), tata cara pemungutan suara, pengumuman hasil pemungutan suara dan penetapan hasil pemungutan suara, serta penetapan calon terpilih. Empat, hak dan kewajiban masyarakat pemilih dan masyarakat umum bukan pemilih.

Karena itu, kita sangat berharap bahwa lewat penyelenggaraan Pilkada Gubsu nanti, akan lahirlah sosok pemimpin di Sumatera Utara ini yang benar-benar dicintai rakyat. Pemimpin yang bersih, jujur, kredibel dan mau mengabdikan dirinya bagi kepentingan masyarakat Sumatera Utara. Pemimpin yang sanggup dan mau membawa perubahan bagi nasib masyarakat. Pemimpin yang mau mengerti problema yang menimpa masyarakat.Pilgubsu 2008: Jangan Salah Pilih!.