Kamis, 13 September 2007

Sejauhmana Efektivitas Penyaluran Subsidi Dana Kemiskinan?

* Sebuah Catatan Menyikapi Peluncuran Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Kepada Keluarga Miskin


Oleh: Sanco Simanullang, ST, MT dan Jhonson BS Rajagukguk, S. Sos

Bersama kita bisa menerima kelangkaan BBM, yang akhirnya bermuara pada variabel naiknya BBM pada awal Oktober 2005 ini. Sebuah rencana pemerintah SBY -JK yang penuh kontroversi. Patut diduga, naiknya BBM ini akan mengakibatkan malapetaka ekonomi nasional karena struktur ekonomi kita belum bisa mengikuti logika pasar internasional. Memang pasca neoliberalisme, pasar telah dijadikan sebagai “Tuhan Global” yang justru melahirkan kesenjangan. Asumsi pemerintah menaikkan BBM ini memang berdasarkan arus pasar internasional, tetapi disatu sisi gagal melahirkan aspek keadilan ekonomi. Subsidi Rp 100.000 diasumsikan bisa menolong masyarakat miskin dalam menghadapi logika pasar. Benarkan demikian? Kalau tidak bagaimana nasib demokrasi ekonomi di negara ini atas nama ekonomi kerakyatan yang justru tak kuasa menghadapi benturan pasar global?


PKPS-BBM
Diakhir bulan September ini pemerintah diprediksi bakal meluncurkan kebijakan yang tidak populer yakni menaikkan harga BBM dan akan digulirkan jam 24.00 WIB tepatnya 1 Oktober 2005 dengan kenaikan berkisar antara 70-80%. Sebelum kenaikan itu diumumkan tampaknya pemerintah bakal meluncurkan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) kepada keluarga miskin: sebab, Badan Pusat Statistik telah selesai mendata jumlah penduduk di tanah air sebanyak 218 juta orang. Dari jumlah itu terdapat 15,5 juta rumah tangga atau 62 juta jiwa penduduk miskin. Dengan rincian 4 juta rumah tangga kategori sangat miskin, 6 juta rumah tangga kategori miskin dan 5,5 juta rumah tangga mendekati miskin. Pendataan keluarga miskin ini BPS telah menghabiskan dana Rp 250 miliar dengan mengerahkan 205.082 petugas non organik yang disebar di 30 provinsi di Indonesia dan 440 BPS kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Dasar BPS memutuskan seseorang miskin memiliki tiga kategori. Pertama, penduduk sangat miskin yaitu penduduk yang kemampuan minimal memenuhi konsumsi kalori sama atau kurang dari 1.900 kalori per orang per hari ditambah pengeluaran non makanan senilai Rp. 120 ribu per orang per bulan. Artinya kalau seseorang memiliki pendapatan perbulan hanya Rp 120 ribu dikategorikan penduduk sangat miskin. Kedua, penduduk miskin yakni yang memiliki kemampuan memenuhi konsumsi kalori antara 1.900-2.100 kalori per orang per hari ditambah dengan pengeluaran makanan setara Rp 150 ribu per orang per bulan. Ketiga, penduduk mendekati miskin yakni memiliki konsumsi 2.100-2.300 kalori ditambah pengeluaran non makanan setara Rp 175 ribu per orang per bulan.
Bedasarkan kriteria di atas maka Badan Pusat Statistik memutuskan bahwa yang tergolong sangat miskin kategorinya 4 kali Rp 120 ribu atau setara Rp 480 ribu per rumah tangga per bulan, rumah tangga miskin apabila pendapatannya Rp 600.000 per bulan, dan mendekati miskin jika pendapatannya Rp 700.000 per rumah tangga per bulan. Dengan kategori dari sudut pendapatan itu akhirnya pemerintah menemukan 62 juta jiwa atau 15,5 juta rumah tangga. Untuk menopang napas kehidupan 15,5 juta rumah tangga itu pemerintah memberikan bantuan satu rumah tangga miskin di tanah air akan memperoleh bantuan sebesar Rp 100.000 per bulan yang pengeluarannya per tiga bulan atau Rp 300.000 sehingga pemerintah per tiga bulan harus mengucurkan dana keniskinan 4,65 triliun. Mekanisme penyaluran bantuan itu dilakukan Departemen Sosial bekerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia dan PT Pos Indonesia. Dan diprediksi bantuan itu akan mulai dikucurkan bulan depan yaitu Oktober, Nopember dan Desember. Kemudian Januari 2006 keluarga miskin akan mendapat kembali Rp. 300 ribu.
Mencermati kriteria di atas muncul pro dan kontra tentang kriteria kemiskinan, bahkan diduga ada mark up data penduduk miskin, seperti yang diinformasikan harian Sinar Indonesia Baru (SIB 18/9/2005) bahwa ketua DPRD Pakpak Bharat dan Sekda masuk data miskin. Terlepas dari sajian data statistik itu, mengapa kebijakan PKPS-BBM itu diluncurkan pemerintah? Suatu jika mencermati visi Indonesia 2002 yaitu “mewujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokrasi, adil, sejahtera, maju mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara”. Cita-cita ini merupakan target yang harus dicapai tahun 2020. Berangkat dari impian ini, sesungguhnya masalah kemiskinan sudah menjadi masalah lama, sama tuanya dengan umat manusia sendiri. Ketika perbedaan-perbedaan kelas manusia timbul akibat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang tidak meraja bagi setiap umat manusia. Pada saat itu timbullah orang-orang yang berkecukupan pada satu pihak dan orang-orang yang berkekurangan pada pihak lain artinya yang miskin tetap miskin.
Berbagai program telah banyak dilakukan pemerintah sejak awal memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT II). Sebut saja lewat program penanggulangan Inpres Desa Tertinggal (IDT) hasil karya “Tim Sembilan” pakar UGM yang diketuai Mubyarto (almarhum) dengan anggota Herqutanto Sasronegoro (almarhum), Ichlasul Amal, Loekman Soetrisno (almarhum), Kuntowijoyo (almarhum), Amien Rais, Nasikun, Yahya Muhaimin dab Bambang Sudibyo. Karya “Tim Sembilan” kemudian digulirkan lewat kebijakan publik dalam intruksi Presiden Indonesia Nomor tahun 1993 tentang Desa Tertinggal. Digulirkannya kebijakan publik itu, jumlah penduduk miskin saat itu telah mencapai 27,2 juta jiwa sesuai dengan data Biro Pusat Statistik (BPS 1992). Namun karya “Tim Sembilan” untuk penanggulangan Inpres Desa Tertinggal (IDT), dekade itu tampaknya justru mengalami jalan buntu, sebab jumlah penduduk miskin justru mengalami peningkatan signifikan, yang saat ini telah mencapai 62 juta jiwa. Kemudian diluncurkannya jaringan pengaman sosial (JPS). Lalu, apa yang menyebabkan kegagalan pembangunan berkelanjutan kemanusiaan itu gagal sehingga menjadi masalah nasional?. Menurut Srinivas (1991) ialah “Development of poverty cand and do coexist. In the case of individuals, development and poverty do not have to coexist, but nations are not individuals. The popular nation is that development and affluance are synonymous while poverty and underdevelopment are concominant proceses. The nationis that when nations development they can get rid poverty. This is not true. On the other hand, it is the nature of the development process (as it is being carried out and conceptualized today to cause greater poverty. Second it is methods of development process that causes poverty”. Selanjutnya, Prahalad (2004) menunjukkan bahwa potensi ekonomi kelompok miskin sangat kontras dan tak bisa diremehkan, dalam jumlah saja, empat miliar orang miskin di dunia. Lebih tajam lagi laporan Bank Dunia lebih dari 110 juta penduduk Indonesia tergolong miskin atau setara dengan 53,4% dari total penduduk Indonesia. Mengapa angka kemiskinan itu terus bertengger di papan atas? Sebab, kemiskinan itu menurut The World Bank Group (2000) “poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to see a doctor. Poverty is not being able go to school and not knowing how read. Poverty is not having a job, is fear to future, living one day at a time, Poverty is losing a child to illness brought about unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom”. Tak dapat dipungkirkan kemiskinan itu merupakan lingkaran setan dan sangat komplesitas serta hubungan sebab akibat dan yang saling berkaitan dari ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weakness) seperti busung lapar, kemiskinan (poverty) dan keterasingan (isolation).

PKPS-BBM PEMBANGUNAN ALTERNATIF ?
Salah satu cara pembangunan alternatif mengatasi kemiskinan yang saat ini menurut pemerintah, yakni melakukan gerakan PKPS-BBM merupakan istilah baru dalam hal mengentaskan kemiskinan, dengan maksud agar masyarakat lebih berdaya menopang napas kehidupannya. “kekuatan atau daya fisik” yang menjadi modal dasar dari proses aktualisasi eksistensi itu. Secara struktural manusia sebagai makhluk sosial memang perlu dimungkinkan untuk pengaktualisasikan eksistensinyadengan cara pemberian subsidi dalam bentuk uang kontan. Mereka disantuni setiap bulan sebesar Rp 100 ribu oleh pemerintah. Namun yang perlu ditelusuri PKPS-BBM apakah masyarakat miskin akan memampukan mereka untuk lebih berdaya dan berapa lama daya tahan pemerintah untuk memberi santunan ini”. Akankah sampai berakhirnya masa kepemimpinan Presiden?. Kemudian berturut-turut menunggu pemilu berikutnya sehingga ini merupakan bahan yang tak pernah selesai dan isu penting para jurkam dimasa depan ketika kampanye?. Pemberian santunan kadang-kadang hanya menyentuh “cabang” atau “daun” namun tidak “mengakar” permasalahan “grassroot” atau hanya mengkumandangkan subsidi tetapi belum mampu membumi hingga sampai ke akar rumput (penduduk miskin itu sendiri). Idealnya, masyarakat miskin itu harus mengubah nasibnya sendiri dan tidak tergantung melulu kepada santunan. Untuk memberdayakan, hendaknya kita berikan alat pancing, bukan ikan hasil pancingan. Karena itu, pemberdayaan menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi umat manusia agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menjadikan apa yang menjadi pilihan hidupnya serta memperkukuh kekuatan ekonomi rumahtangganya sebagai modal dasar atau faktor generatif dari proses pemberdayaan tersebut. Robinson (1994) memperjelas konsep pemberdayaan “empowerment ia a personal and social process, a liberating sence of one’s own strengths, competence, creativity and freedom of action, to be empowered is to feel power surging into one from other people and from inside, specifically the power to act and grow, to become, in Paolo Freire’s terms, “more fully human”. Filosofi pemberdayaan itu harus menjadi bagian dari aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, manusia dan kemanusiaanlah yang menjadi tolok ukur normatif. Bukan dana santunan itu yang perlu ditonjolkan dan digembor-gemborkan melainkan adanya kemauan untuk mengubah nasib hidupnya sehingga menempatkan konsep pemberdayaan sebagai bagian dari upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintahan, negara dan tata dunia didalam rangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab, yang terwujud di berbagai medan kehidupannya sebelum ia menghadap penciptanya.


GERAKAN PEMBERDAYAAN TERKOORDINIR
Gerakan pemberdayaan dapat menjadi suatu pendekatan alternatif terhadap pembangunan kemanusiaan hendaknya berfokus tidak hanya pada dana santunan, tetapi juga memampukan si miskin untuk berkreasi dalam suatu wadah yang terkoordinir. Sedangkan tujuan pembangunan alternatif itu adalah untuk memanusiakan suatu sistem yang membungkamkan mereka dari keterbelakangan dan untuk mencapai ini diperlukan bentuk-bentuk perlawanan yang menekankan kepada hak-hak mereka sebagai umat manusia dan warga negara yang tersingkir dan terpinggirkan. Gerakan pemberdayaan juga merupakan suatu proses perubahan pribadi karena masing-masing individu mengambil tindakan atas nama mereka sendiri dan kemudian mempertegas kembali pemahamannya terhadap dunia tempat ia tinggal apakah di daerah perkotaan, pinggiran perkotaan, atau di daerah teringgal pedesaan dari segala akses informasi maupun ekonomi. Mereka ini perlu diberdayakan dalam sebuah gerakan populis yang benar-benar dapat mendarat hingga ke akar rumput dengan cara berkelanjuta. Seperti mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan Undang-Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 213 ayat (1) dimana desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa, dalam hal ini pemerintah harus memberikan dana pancingan (trigger), bukan santunan bulanan. Mendirikan BUMD tidak saja merupakan tekad untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi juga sebagai bagian dari pemerintahan yang baik (good governance) untuk wujudkan pembangunan alternatif yang melihat pentingnya manusia (masyarakat) tidak lagi sebagai objek tetapi subjek pembangunan. Gerakan partisipasi juga tidak kalah penting digerakkan. Dalm gerakan pemberdayaan dan gerakan partisipatif melibatkan warga masyarakat, khususnya kelompok sasaran dalam pengambilan keputusan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, penendalian (evaluasi) hingga pemanfaatan hasil-hasilnya. Gerakan pemberdayaan dan partisipasi di atas selama ini belum populis terlihat seperti “dipasrahkan” sepenuhnya sepertipemanfaatan dana IDT, jaringan pengaman sosial (JPS) kepada penduduk miskin namun mengalami jalan buntu. Sebab, kondisi tersebut menggagalkan pembentukan karakter kelompok masyarakat miskin yang selalu tergantung.
Pada dasarnya, setiap individu dilahirkan dengan daya. Namun, kadar daya itu akan berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor yang saling terkait (interlinking faktor) antara lain seperti, gizi, pengetahuan, status, usia, harta, kedudukan dan jenis kelamin. Faktor-faktor yang saling terkait tersebut pada akhirnya membuat hubungan antar individu dengan kotomi subjek (penguasa) dan objek (yang dikuasai) yang meliputi kaya-miskin, laki-laki-perempuan, guru-murid, dosen-mahasiswa, pemerintah-warganya, dokter-pasien dan lain sebagainya. Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan kotomi subjek dan objek tersebut yang ingin “diperbaiki” melalui gerakan pemberdayaan sehingga memiliki daya. Pada akhirnya, kemampuan masyarakat miskin untuk dapat “mewujudkan” harapannya dengan diberinya “pengakuan” oleh subjek merupakan bukti bahwa individu tersebut mempunyai daya. Kini yang selalu muncul dalam benak kita adalah apakah subsidi kurang lebih Rp 100.000 diasumsikan bisa menolong masyarakat miskin dan cukup efektif dalam menghadapi logika pasar. Sungguh, kita berada dalam posisi penantian panjang melihat bukti nyata.

Penulis pertama: Dosen di beberapa PTS/Praktisi Telematika
Dan penulis kedua Dosen Pengajar pada STIE dan STMIK IBBI Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar