Tampilkan postingan dengan label Pilkada Kota Medan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pilkada Kota Medan. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Juni 2010

Menjaga Netralitas PNS dalam Pilkada Kota Medan Putaran II

Oleh Sanco Manullang ST MT

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan menetapkan hari Sabtu, 19 Juni 2010 hari pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Medan putaran II.. Perhelatan demokrasi ini diharapkan membawa kebaikan bagi kepentingan bersama warga yang mendiami Kota Medan. Semua warga Kota Medan yang sudah terdaftar sebagai pemilih tetap, semestinya berperan serta di dalamnya. Sebuah peran yang tentunya akan menentukan nasib kota Medan 5 tahun ke depan.
Memang, perkara ikut memilih atau tidak itu adalah hak setiap orang. Namun sejatinya, alangkah baik bila semua warga masyarakat menggunakan hak pilihnya. Tidak hanya sekedar menggunakan hak pilihnya, masyarakat juga diharapkan ikut mengawasi setiap tahapan dalam proses pilkada Kota Medan. Pengawasan dari masyarakat amat penting, apalagi institusi pengawasan memiliki kapasitas dan instrumen yang amat terbatas.
Semua elemen masyarakat harus menunjukkan partisipasinya, termasuk para Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Antisipasi Golput
Tingginya golput (golongan putih-red) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) Kota Medan putaran I, menunjukkan bahwa kinerja Komisi Pemilihan Umum Kota Medan belum maksimal. Hal ini pula sudah disampaikan sejumlah elemen masyarakat di berbagai media.
Bahkan lebih miris lagi, golput pilkada kemarin telah menembus angka 70 persen. Sejumlah pihak meminta KPU Kota Medan harus bertanggung jawab dan harus siap mundur. Golput tersebut dinilai merupakan bentuk arogansi KPU terhadap calon walikota/wakil walikota Medan dengan tidak aspiratif dalam menyahuti keinginan masyarakat, sehingga penyelenggaraan Pilkada Medan terkesan amburadul, karena masih banyaknya masyarakat tidak terdaftar, DPT ganda, yang meninggal terdaftar serta masih banyak lagi yang lainnya. Tak heran, pasca pilkada Kota Medan Putraran I, gugatan sengketa pilkada Kota Medan yang diajukan pasangan yang merasa diperlakukan tidak fair, terus berlanjut.
Tentunya, banyaknya golput sama artinya Pilkada Kota Medan gagal, karena masyarakat telah apatis terhadap pemerintah maupun KPU sendiri. Hal ini tentunya harus dipetik sebagai pelajaran mahal sehingga kejadian tingginya golput ke depannya harus diantisipasi dan KPU mesti lebih profesional dan aktif dengan tidak mengandalkan arogansi politiknya.
Beberapa konflik dapat terjadi selama pra dan pasca Pilkada Putaran kedua ini. Salah satu isu yang terus ada sampai saat ini adalah pendataan pemilih (DPT), dimana terdapat pemilih yang tidak terdaftar meskipun sebenarnya sudah memiliki hak untuk memilih. Agar hal tersebut tidak terjadi, masyarakat harus aktif dalam proses pendataan. Pemilih harus mengecek ke kelurahan apakah sudah terdaftar atau belum. Konflik lain yang mungkin muncul antara lain mobilisasi dukungan, mobilisasi massa, masa kampanye, hari tenang, hari H, bahkan setelah Pilkada usai.
Berkaca pada daerah lain
Kembali kepada peran dan posisi PNS dalam pilkada, memang terus menjadi perdebatan(debatable). Apalagi, berkaca pada pengalaman di daerah lain, bahwa tak jarang ada PNS yang terpolarisasi kepada kekuatan politik tertentu. Padahal, PNS sebagai abdi negara dan rakyat, adalah netral. Berada di atas semua kepentingan.
Kantor Berita Antara menyebut, Jumlah pegawai negeri sipil yang terindikasi tidak netral pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Surakarta 26 April 2010 bertambah dari delapan menjadi 10 orang.
Disebut, dua oknum PNS yang terindikasi tidak netral itu berasal dari kalangan pejabat eselon II. Pihaknya hingga saat ini masih mengembangkan pengusutan kasus tersebut untuk mengetahui kebenaran atas indikasi itu.
Sejumlah bukti kasus indikasi PNS tidak netral antara lain berupa layanan pesan singkat yang berisi ajakan memilih salah satu pasangan calon dan pembagian sejumlah gambar pasangan calon.
Sekda Sukoharjo, Ig Indra Surya meminta Pegawai Negeri Sipil (PNS) bersikap netral dan tidak mengikuti kegiatan politik praktis menjelang Pilkada. Peringatan itu ditegaskan karena muncul laporan adanya PNS yang ikut mendukung salah satu calon kepala daerah.
Peringatan itu layak diapresiasi bukan untuk wilayah Sukoharjo saja, namun juga daerah-daerah lain. Sebab, Pilkada di beberapa wilayah di eks-Karesidenan Surakarta bakal digelar dalam waktu relatif bersamaan.
Di Sumut, Wagubsu Gatot Pujo Nugroho kembali mengingatkan seluruh jajaran Pegawai Negri Sipil (PNS) di lingkungan Pemprov Sumut bersikap netral dan profesional dalam menghadapi pesta demokrasi 12 Mei 2010. Tidak dibenarkan berpihak kepada salah satu pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota (Cawalkot).
”Sudah beberapa kali saya sampaikan, para pegawai negri sipil tidak boleh berpihak kepada salah satu pasangan calon Pilkada di manapun berada,” tegas Gubsu usai apel pagi di Lapangan Benteng, Senin, (19/4).
Kapoldasu Irjen Pol Oegroseno mengingatkan anggota Polri, TNI dan PNS bersikap netral di pemilu kepala daerah (Pemilukada) di Sumut. Menurutnya sikap netral itu penting, untuk menjaga pelaksanaan pemilu di sembilan kabupaten/kota serentak berjalan aman dan lancar.
Posisi Strategis
Persoalan netralitas PNS hampir selalu mencuat setiap menjelang Pilkada di negeri ini. Fenomena ini tidak mengherankan, karena PNS memiliki posisi strategis.
Dalam tatanan negara kita, PNS lebih cenderung merupakan sipil yang mengabdi hingga muncul istilah PNS sebagai abdi negara. Sebagai abdi negara, PNS mudah dimobilisasi, jika seorang kandidat kepala daerah misalnya, sudah berhasil “memegang” pejabat di atasnya.
Kondisi itu kian mudah jika seorang kandidat sekaligus incumbent. Karena dia memiliki kesempatan lebih luas untuk “secara sembunyi sembunyi” menggalang dukungan massa PNS hingga menggunakan fasilitas negara demi memuluskan jalan.
Pokok-Pokok Kepegawaian
Kekhawatiran akan netralitas PNS juga diutarakan Ketua DPP KORPRI, Diah Anggraeni. Sebab, selama tahun 2010 ini akan berlangsung 244 Pilkada di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, tujuh Pilkada menyangkut pemilihan gubernur, dan sisanya pemilihan bupati/walikota.
Mengingat posisi PNS yang sangat rentan tersebut, sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 8/1974 tentang pokok-pokok kepegawaian, yang telah diubah dengan UU Nomor 43 tahun 1999. UU tersebut mengamanatkan bahwa PNS harus netral dari pengaruh golongan dan Parpol, serta tidak diskriminatif dalam memberikan layanan pada masyarakat.
Karena itu untuk menjamin netralitas PNS sekaligus menjamin pelaksanaan Pilkada yang bersih dan jujur, UU RI Nomor 43/1999 harus dipahami dan dicamkan benar-benar. Sanksi bagi para pelanggar juga harus benar-benar ditegakkan. Sementara untuk mencegah praktik mobilisasi suara PNS, pengawasan tidak hanya menjadi tanggung jawab Panwas semata, melainkan tanggung jawab semua elemen. Langkah tersebut penting dilakukan demi sebuah pesta demokrasi yang benar-benar jujur dan adil.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamanwan Fauzi telah mengeluarkan Surat Edaran terkait imbauan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) bersikap netral dalam Pemilihan Kepala Darah (Pilkada).
Surat Edaran (SE) Mendagri tersebut diterbitkan pada 21 Desember 2009 dengan nomor 270/4627/sj. SE Mendagri ini ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota agar menata semua jajaran PNS untuk menjaga sikap netralnya dalam pilkada. SE Mendagri juga ditembuskan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) yang memiliki kewenangan mengatur kedisiplinan PNS.
Para PNS memiliki hak suara yang sudah diatur penggunaannya. PNS harus netral dalam artian tidak melakukan mobilisasi. Apalagi menggunakan sarana dan jabatan untuk kampanye.
Konflik dalam pilkada hampir mustahil dihilangkan 100 persen, tapi bisa diminimalisasi. Karena itu, Depdagri bersama KPU dan Panwaslu sudah aktif mengelola pilkada 2010 sejak Oktober 2009 agar semua potensi masalah bisa dicegah.
Menurut berbagai sumber, angka konflik dalam Pilkada mendekati 50 persen pada pilkada tahun 2005 hingga 2008. Dalam rentang waktu tersebut, ada 486 pilkada dan tercatat, 210 di antaranya berujung konflik yang diselesaikan ke pengadilan. Masing-masing 14 pemilihan gubernur, 163 pemilihan bupati, serta 33 pemilihan walikota.
Guna mencegah konflik tersebut, paradigma dari siap menang dan siap kalah dalam pemilu, menjadi siap menerima hasil pilkada.Hal itu mestinya harus terus menerus didengungkan. Sebab, makin tipis selisih perolehan suara pilkada semakin besar potensi konfliknya.
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara pun , pernah menyatakan bahwa PNS yang terlibat dalam tim sukses salah satu kandidat dalam perhelatan Pilkada atau pemilu, akan dipecat merupakan peringatan dini bagi para kandidat dan tim suksesnya. Sebab, sudah jamak kita saksikan bahwa banyak PNS yang terlibat, baik secara terbuka maupun diam-diam, menjadi bahagian dari tim pemenangan salah satu kandidat dalam pilkada.
Harapan kita
Dalam kaitan itulah, netralitas PNS dalam pilkada Kota Medan dan daerah lainnya sebenarnya adalah juga harapan dari seluruh masyarakat. Pasalnya, PNS sebagai abdi rakyat harus berada dan menaungi seluruh golongan, termasuk mereka yang kini sedang bertarung dalam pilkada. PNS tidak boleh memihak. Tidak boleh dukung mendukung, tidak boleh melibatkan diri kepada calon tertentu. Apalagi calon yang juga incumbent. Selain itu tidak boleh ada diskriminasi. PNS meski benar-benar netral. Calon Walikota yang kebetulan dulunya incumbent, tentu sangat tidak bijaksana apabila ia menggunakan instrumen PNS untuk mendukung dirinya dengan berbagai cara.
Netralitas PNS dalam pilkada sangat penting dalam mewujudkan penyelenggaraan pilkada yang aman, jujur, tertib dan bersih. Sementara jika pilkada berlangsung dengan jujur, demokratis dan cerdas, maka harapan bahwa pilkada akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang reformis di Kota Medan akan dapat terwujud. Oleh karena itu, para PNS harus menjaga diri. Tarikan politik yang begitu kuat, harus mampu diantisipasi dengan mengandalkan semangat pengabdian kepada negara. Disamping itu, Calon Walikota pun harus siap menerima hasil pilkada entah itu manis ataupun pahit. (Penulis adalah Pengamat Sosial dan Politik) (g)